DARAH GURU, BUKAN DARAH BIRU
MASA KECILKU
Sungguh indah apabila kukenang masa kecilku, aku dilahirkan dari kedua orang tua yang mengawali karirnya sebagai guru. Ayahku seorang guru pada Madrasah Ibtidaiyah di kampungku. Madrasah yang berdiri di atas tanah wakaf keluarga kami. Dalam diri ayahku mengalir darah seni dan olahraga serta bakat sebagai pendidik dan penulis naskah drama. Dari beliau lahirlah lagu “ Mars Nurul Huda “ nama Madrasah kami saat itu.
Ayahku yang bertampang galak namun sungguh berhati lembut. Sampai detik ini aku tak pernah merasakan jeweran atau pukulan sebagai hukuman ketika kami menyalahi aturan. Kata – katanya untuk menasehati kami empat bersaudara selalu beliau siapkan dengan paparan kosakata penuh makna. Kata – kata yang tersusun menjadi kalimat logis namun penuh hikmah. Kata – kata yang membuat hati kami makjleb ketika mendengarnya.Sehingga pola yang dibentuk oleh ayah kami berpengaruh pada pribadi kami berempat saat ini.
Aku sering mendengar pernyataan bahwa jika orang tuamu menasehatimu maka dengarkan dan menurutlah. hal ini tidak berlaku dengan ayahku.Ayahku selalu memberikan ruang kepada kami untuk menyampaikan alasan kenapa kami berbuat kesalahan. Setelah itu baru ayah memberikan nasehatnya, setelah kami lega menyampaikan semua alasannya.
Ibuku, wanita lembut, cerdas, cekatan, tatag, tabah dan tangguh adalah seorang berhati malaikat. Betapa ibuku adalah seorang wanita yang mudah berbaik sangka kepada orang lain, meski itu pada orang yang membenci dan memusuhinya. Sampai hari ini tak mudah aku untuk meneladani sikapnya. Ibuku juga berprofesi sebagai pendidik di madrasah tempat ayah merintis dan mengabdikan diri. Dari situlah muncul benih-benih cinta penuh romantika. Terbawa sampai aqdun nikah sebagai pilihannya. Lahirlah aku sebagai anak kedua setelah anak pertamanya yang hanya diberi kesempatan seperempat jam hidup di dunia. Akulah anak pertama harapannya di masa depan. Jadi apa aku nantinya ternyata tergantung dari lingkungan yang membesarkan dan kulihat setiap harinya.
Setiap hari kulihat ibuku berangkat kerja dengan baju rapi, sepatu hak tinggi, rambut bersanggul indah dari rambutnya yang asli, dan jalannya yang bergas tegap namun dengan langkah pasti, seakan hidup penuh tuntutan dedikasi. Ilustrasi di atas yang membuat aku terinspirasi untuk mengikuti jejak langkahnya di kemudian hari.
Di waktu kecil aku sering bermain sekolah-sekolahan. Aku selalu ingin berperan menjadi guru.Teman-teman dan saudara di masa kecilku selalu kuberi peran untuk menjadi murid. Mereka kujadikan obyek untuk memperhatikan penjelasanku sambil mencoret-coret tembok yang kuanggap sebagai papan tulis. Aah lucunya bila aku mengingat hal itu. Kadang bermain sekolah-sekolahan hanya kumainkan sendiri tanpa teman ataupun saudara. Aku berdandan ala guru-guruku di madrasah. Kupakai sepatu jinjit ibuku dan kubawa tasnya sepulang ibuku dari madrasah. Di zaman dulu guru adalah pusat perhatian dari pembelajaran. Metode ceramah adalah andalannya. Seperti itulah metode yang kupakai ketika “mengajar” di sekolah imajinasiku.
Gaya yang kupakai dalam menjelaskan materi adalah gaya menirukan masing-masing guruku ditambah oleh improvisasiku sendiri.Kok bisa ya?pertanyaan itu yang selalu muncul di benakku. Apakah itu yang disebut minat atau bakat? Yang jelas itu menggambarkan bahwa apa yang dilihat seorang anak, akan mudah memasuki ruang memori mereka.Tanpa ada yang menghalangi dan memfilternya. Sampai gaya marahpun aku menirukan gaya semua guru kesayanganku waktu itu.
MASA REMAJAKU
Selepas lulus dari madrasah tsanawiyah aku ingin melanjutkan ke Sekolah Menengah Keguruan. Aku ingin melanjutkan ke sekolah Pendidikan Guru Agama Negeri yang ada di kotaku. Hal ini bertentangan dengan ayahku yang menginginkanku untuk melanjutkan ke Madrasah Aliyah Negeri di kotaku juga. Aku heran dengan sikap ayahku. Kenapa beliau yang merintis karir berangkat dari profesi sebagai guru justru melarangku untuk mengikuti jejak langkahnya. Saran dan masukan ayahku untuk masuk ke Madrasah Aliyah Negeri(MAN) kutolak mentah-mentah. Why? Karena ayahku berkeinginan setelah tamat dari MAN nantinya bisa melanjutkan profesi ayahku sebagai pegawai negeri sipil pada Departemen Agama Kabupaten tempat ayahku bekerja saat itu. Aku diharapkan bisa melanjutkan profesinya kelak jika beliau pensiun. Aku tak mau bahkan tidak ada niatan sama sekali untuk mengikuti saran dan masukannya. Dalam hati kekeh aku pingin melanjutkan pendidikanku di sekolah yang berbau keguruan.
Aku tak mengerti mengapa sekekeh itu keinginanku sampai aku menentang kedua orang tuaku. Sampai ayahku bertanya”jika tidak diterima tes masuk PGAN Malang mau sekolah dimana”? Kujawab saja kalau tidak diterima aku pingin mendaftar di PGAN Ponorogo tempat kelahiran ibuku. Kota kabupaten yang terkenal dengan seni reognya. Aku hubungi pamanku yang juga berprofesi sebagai guru agama di kota itu. Aku minta tolong pada pamanku untuk mencarikan seputar informasi mengenai Pendaftaran Siswa Baru di PGAN Ponorogo, sebagai antisipasi jika aku tidak diterima di PGAN Malang. Pamanku yang baik hati akhirnya mengirimkan segala persyaratan yang harus dipenuhi melalui Pos.
Tibalah saatnya aku mengikuti pendaftaran Siswa Baru di PGAN Malang yang dekat tempat tinggalku. Bersamaan dengan itu ternyata ada sahabat sebangkuku ketika di MTsN ikut juga mendaftar. Teman di kampungku ada sekitar 6 anak juga ikut mendaftar. Pada pelaksanaan tes masuk, Alhamdulillah aku diberikan kelancaran dan kemudahan, mungkin karena semangat membara di dalam dada.Rangkaian tes yang kuikuti mulai dari tes tulis, tes psikologi, tes performance, tes mengaji dan menulis ayat. Puji Syukur atas kuasa Allah dari sahabat dan temanku yang mendaftar tidak ada satupun yang diterima, hanya aku yang diberikan nikmat saat itu diterima di sekolah yang menjadi harapan dan keinginan.
Pendidikan yang kuikuti di PGAN adalah betul-betul pendidikan dasar yang diberikan sebagai calon guru mata pelajaran umum maupun agama yang handal dan terampil jika sudah berkarir nanti. Guru-guruku adalah orang-orang yang berjasa dalam perjalananku menjadi seorang guru. Guru-guru yang kuingat sampai hari ini adalah Ibu Istianah. Beliau adalah guru Materi, Metoda,dan Cara Pengajaran Bahasa Indonesia(MMCP Bahasa Indonesia),
Bapak Satijo, beliau adalah guru MMCP Ekspresi yang mengajarkan materi,metoda,cara pengajaran seni budaya yang sangat piawai memainkan alat musik pianikanya. Dan yang sangat berkesan adalah Bapak Fajri Syuaib, beliau adalah guruku di bidang psikologi umum, perkembangan dan pendidikan. Beliau semua adalah pahlawan yang tiada tara jasanya kepadaku dan kepada siswa-siswi yang lain. Karena beliau bertiga, tanpa mengesampingkan peran guruku yang lain, aku mulai tertarik dengan dunia pendidikan terutama pendidikan anak. Aku suka mengamati tumbuh kembang anak. Aku mulai tertarik dengan dunia anak yang sangat lucu dan menarik. Ilmu dari guruku bertiga yang tertancap dalam pikiran dan hati sanubari sehingga karenalah aku tetap ingin melanjutkan menempuh pendidikan di Fakultas Keguruan.
Dengan bangga aku minta restu pada orang tuaku ingin kulanjutkan pendidikanku di Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Malang. Orang tuaku sudah mulai paham bakatku. Dengan restu mereka akupun diterima dalam penjaringan Mahasiswa Baru di kampus tersebut setelah mengikuti beberapa rangkaian tes masuk. Aku mengikuti perkuliahan 4 tahun tepat, dan selesai saat usiaku belum genap 21 tahun. Aku ditasbihkan dengan gelar Sarjana Agama yang mempunyai Akta IV dan mempunyai hak untuk mengajar.
MASA AKU MENJADI GURU
Tepat selepas lulus dari kampus yang membesarkan cita-citaku, 1 tahun kemudian aku mendapatkan pekerjaan sebagai guru pada madrasah swasta yang notabene masih baru dan terkenal saat itu di daerahku. Gaji yang kuterima sebesar 60 ribu. Pada zaman itu bisa dikatakan lumayanlah. Bekerja pertama kali saat itu aku ditugaskan di kelas 1 baru. Kebetulan saat itu ada 3 kelas paralel. Aku ditempatkan di kelas 1B, yang rata-rata siswa-siswinya mempunyai kemampuan dasar akademik kurang sekali jika dibandingkan dengan yang ada di kelas 1A dan 1C. Memahami karakter anak didikku yang kupelajari saat pertama kali menjadi guru. Aku tahu betapa bingungnya waktu itu. Aku merasa diberikan tantangan baru oleh kepala madrasahku saat itu. Yaa Tuhaaan betapa kagetnya aku ketika melihat 34 siswa yang rata-rata kinestetiknya luar biasa. Memahami mereka butuh kesabaran dan kekuatan. Dari 34 siswa yang ada hampir separuh anak kemampuan baca tulis hitungnya(Calistung) masih kurang sekali. Langkah yang kulakukan selain memahami karakternya adalah aku sering melakukan sharing dengan ibuku yang pernah juga menjadi guru TK dan kelas 1.
Atas arahan dan bimbingan ibuku pelan-pelan kesulitan pertama saat menjadi guru bisa terselesaikan dan terpecahkan. Hari bertambah hari, aku mulai menyayangi dan mencintai anak didikku sepenuh hati. Dengan menyayangi dan mencintai mereka segala permasalahan dan kesulitan yang kuhadapi di lapangan semakin menemukan jalannya. Aku ingat ilmu Bu Istianah, Pak Satijo dan Pak Fajri. Kupelajari dan kuingat kembali apa yang pernah disampaikannya. Dari Bu Is yang kuingat “Ajari anak membaca berawal dari sumber bunyi bahasa”. Bunyi hewan, bunyi kendaraan dan bunyi alam, sangatlah bermanfaat bagiku untuk mengajari anak didikku yang belum bisa membaca. Pesan Pak Satijo yang masih kuingat “Menyanyilah dengan merdu tepat pada ketukan suara musik yang kau mainkan di depan anak didikmu”. Ilmu Pak Satijo mengajarkan betapa seorang guru harus ceria dan terlihat bahagia dengan suka bernyanyi.Ilmu Pak Satijo kupraktekkan untuk mengajak anak didikku selalu bergembira dengan pembelajaranku. ...”Kenali masa tumbuh kembang anak didikmu”, merupakan ilmu dari Pak Fajri yang kuterapkan untuk mengatasi setiap hambatan dan permasalahan psikologis yang terjadi pada anak didikku. Baik itu permasalahan lambat belajar ataupun permasalahan yang lain.
Meramu dan mendesain pembelajaran bagiku adalah seindah ketika aku meramu bumbu masakan yang membuat orang suka, dan terbangun cita rasa yang berkesan. Meramu dan mendesain pembelajaran bagiku adalah bagaikan seni melukis di atas kanvas, mewarnai ke samping, ke atas, bahkan mengradasi tumpukan warna sehingga menjadi maha karya seni yang sangat indah dipandang mata. Mendesain skenario pembelajaran kupakai model pembelajaran yang membuat anak didikku merasa tertarik dan menyukai pembelajaranku. Hari- hariku menjadi guru sangat kunikmati karena semua terjadi atas hobi dan kesadaran bukan paksaan. Menjadi guru bagiku bukan sekedar pilihan, tapi tempat menempa dan menyalurkan segala hasrat dan kemampuan. Menjadi guru adalah sebuah harkat dan martabat bagiku. Jika ada sebagian orang yang berpendapat jangan mencari uang kalau niatmu hanya jadi guru, bukanlah untaian kalimat yang mengganggu pikiranku. Dengan kalimat itu justru membuat semangatku menyala untuk mematahkan pendapat itu. Aku tak mendapatkan setumpuk uang dalam menjalani profesiku, tetapi yang kudapatkan adalah keberkahan dan kesenangan dalam melakukannya. Melihat perubahan anak didikku baik secara cepat atau lambat ke arah yang lebih baik adalah merupakan kebahagiaan yang tak terkira jika kuukur dengan kedalaman hati. Tak bisa dihargai dengan banyaknya rupiah yang bisa menggantikan kebahagiaan itu. Mungkin Tuhan telah bentangkan rahmat dan pertolongannya, sehingga sampai hari ini profesiku mendatangkan pundi-pundi rupiah yang secara nominal kecil tapi tambahan pundi-pundi datang mengalir dari arah yang tak pernah kusangka. Kebahagiaan dalam menikmati hidup, ketenangan dalam mengarungi bahtera lautan kehidupan adalah salah satu keberkahan yang kurasakan dengan profesiku.
Ratusan anak didikku, yang dulu masih imut, kecil mungil dalam ukuran postur tubuhnya, saat ini banyak yang sukses meraih cita-citanya. Suatu waktu aku menerima kabar dari salah satu tante anak didikku bahwa si Dira keponaknnya yang dulu kecil mungil imut, selalu menangis bila merasa buang air besar di celana kini sudah menjabat sebagai Kapolres di daerah kepulauan Riau. Dengan bangganya si tante bercerita sambil menunjukkan fotonya. Duh ...rembesan air mata haru mengalir dari pipiku. Pada dirinya ada sebagian coretan dan lukisanku. Melihat Dira yang dulu cengeng dan suka kecil hati, berubah menjadi seorang Dira yang gagah berani dan berwibawa dalam pandanganku. Kebanggaanku semakin bertambah ketika aku bertemu dengan anak didikku yang sampai hari ini masih ingat denganku. Suatu waktu betapa bahagianya aku ketika ada seorang anak didikku yang sedang menempuh pendidikan di Madinah berkunjung ke rumahku. Dia masih ingat akan pesan-pesanku setiap aku mengakhiri pembelajaran. Ternyata apa yang kita sampaikan dan kita lakukan sebagai guru akan selalu diingat dan dikenang sampai hari ini, jika yang kita sampaikan dan lakukan patut untuk diingat dan dikenang, sama seperti apa yang pernah bapak atau ibu guru lakukan dan sampaikan kepada kita waktu kita menjadi anak didik.
Ketika hari ini aku berada di posisi sebagai Kepala Madrasah pada Madrasah yang baru kurintis, tetap aku meminta jam mengajar kepada Waka Bidang Kurikulum. Aku diberi jam mengajar dalam 1 minggunya 8 jam pelajaran. Langkah itu kutempuh supaya aku tak lupa lika-liku sengsara dan bahagianya menjadi seorang guru. Meski peranku ganda saat ini, melukis jiwa guru dan peserta didik di tempat yang sama, tetap darah guruku memainkan peran yang utama karena sesungguhnya darahku darah guru dan bukan darah biru, ahahahaha.
Semoga profesi yang kujalani ini abadi sampai titik darah guru terakhir kehidupan. Kesehatan, kekuatan, ketangguhan, ketaqwaan yang selalu kumohonkan pada pemilik kehidupan, sehingga yang kita lakukan untuk membawa anak didik mencintai Allah serta rasulnya tak sia-sia dan tetap bernilai ibadah dan jariyah. Amiin Yaa Robbal Alamin.
Mantapzzz... Segera bungkus jadi buku. Daripada hilang tergerus sibuknya waktu dan hanya menguap di dinding ilusimu
BalasHapusEmang ini sdh jadi naskah antologi Why bersama kurator Pak Mukminin
Hapus