AKU DAN WIDYA PUNYA CERITA

 

 Persahabatan adalah hal tersulit di dunia untuk dijelaskan.Itu bukan sesuatu yang anda pelajari di sekolah. Tetapi jika anda belum mempelajari arti persahabatan, Anda benar-benar belum belajar apa-apa. ( Muhammad Ali ).

 Awal Tahun Pelajaran Baru tujuh belas tahun yang lalu, madrasahku menerima 3 orang guru baru. Salah satunya adalah temanku ketika mengajar di madrasah tempat pengabdianku sebelumnya. Dia kuberitahu bahwa madrasahku membutuhkan guru baru. Alhamdulillah setelah mengikuti serangkaian tes, dia diterima di madrasahku. Siang itu ada koordinasi guru dan karyawan di ruang pertemuan. Mataku tertuju pada sosok perempuan yang merupakan salah satu guru baru yang diterima. Tepat ketika koordinasi itu, aku lagi berbicara sendiri diselingi guyonan kecil sama 2 shohibku sejak aku mengabdi di madrasah ini. Sosok perempuan yang kuketahui bernama Widya sepertinya lagi memperhatikan diriku yang lagi ketawa ketiwi. Mungkin dalam hatinya terbersit pikiran "nih orang sableng kali, lagi rapat kok ya guyon sendiri". Aah masa bodoh pikirku. Biarlah dia memperhatikanku sampai capekpun tak akan aku gubris, hehehe... Betapa nakalnya diriku bila kuingat semua itu. Hari pertama mengajar di Tahun Pelajaran Baru, aku dan Widya mulai saling kenal mengenal satu sama lain. Ternyata Widya sepertinya enak untuk diajak berteman, bertukar pikiran dan bekerjasama. Hari-hari di dalam lingkungan kerja mulai kuisi dengan hadirnya Widya. Sampai tak terasa ada salah satu shohibku di madrasah ini merasa cemburu kali  ya?  Dan akhirnya dia agak menjauh dariku. Tak masalah pikirku, toh sudah ada Widya. Waktu berlalu sampai tak terasa 1 bulan sudah aku mengenal Widya. Rasanya aku sudah lama mengenalnya. 

Pada pembicaraan kami, tak tahu di hari keberapa pertemananku dan Widya. Dia mengungkapkan isi hatinya bahwa ketika koordinasi awal Tahun Pelajaran yang lalu, dia melihatku bersama 2 shohibku ketawa ketiwi sendiri di forum rapat, sepertinya menarik perhatiannya. Dia ngrasa sepertinya nih orang satu frekwensi dengannya. Padahal semula aku menebak pandangan Widya sepertinya memperlihatkan aura sebel  kepada kita. Dengan antusiasnya dia bercerita, sepertinya model orang kayak aku lebih tepat untuk diajak berteman, karena aku tak kelihatan jaim sama sekali. Berawal dari ungkapan Widya, maka tanpa kami sadari pertemananku dengannya semakin hari lengket kayak perangko. Aku sering mencarinya disaat dia tak tampak di madrasah. Tak tahu apakah dia juga mempunyai perasaan yang sama denganku? Aku tak peduli. Saat itu kebutuhan untuk selalu bersama Widya menguasai pikiranku. Karena bagiku jika aku mencintai teman karena penampilannya, maka itu namanya obsesi. Jika aku mencintai teman karena kebaikannya,  itu karena kagum. Jika aku mencintai teman karena uang dan hartanya, itu namanya tertarik. Jika aku mencintai teman karena dia cinta padaku, itu namanya empati. Tetapi jika aku mencintai teman karena bingung kenapa aku mencintainya, maka sudah bisa kupastikan bahwa inilah yang terjadi atas perasaanku kepada Widya. Inilah mungkin yang dikatakan cinta sejati seorang Chaula kepada seorang sahabat.  Gambaran awalku, Widya adalah orang pertama yang paham bahasaku.  Bahasa yang tak mudah ditangkap dan  diterjemahkan oleh orang lain, selain Widya. Bahasa yang tak lazim kugunakan ketika aku berkomunikasi dengan orang  lain selain Widya. Hanya Widya lah yang paham dan mengerti, kemudian dilanjutkan dengan menyikapinya.  Kalau ingin tahu bahasanya seperti apa, tanyakan langsung pada Widya, jika kau mengenalnya, Wakakakak. 

Hari berganti Bulan. Bulan berganti Tahun tak terasa pertemananku semula dengan Widya meningkat secara esensi. Pertemanan yang kubangun dengan Widya adalah sebuah persahabatan yang mengait begitu saja, tanpa tendensi. Tetapi betul-betul menguasai emosi. Persahabatanku dengan Widya bukan hanya kata-kata basi. Tetapi persahabatan yang penuh dengan manifestasi. Persahabatanku dengannya tak memerlukan kisi-kisi, sehingga tak perlu lagi mencari indikasi. Persahabatanku dengannya tak perlu validasi. Persahabatanku dengannya hanya perlu definisi bahwa kita menyayangi dan mengasihi tak butuh sebuah eksistensi. Persahabatanku dengannya  hanya perlu deteksi.

Aku dan Widya yang semula mengajar di kelas berbeda tingkat, akhirnya atas izin Allah aku dipersatukan dengan Widya di tingkat yang sama. Yah..aku dan Widya sama-sama ditugaskan mengajar di kelas 1. Aku mengajar di kelas 1A, sedang Widya mengajar di kelas 1B. Hubungan persahabatanku dengannya semakin dekat. Mungkin ada beberapa teman di lingkungan kerjaku yang merasa iri dengan persahabatan ini. Tapi alhamdulillah tidak ada seorang pun yang berniat merusak persahabatanku dengan Widya. Karena disitu ada aku, disitu pasti ada Widya, sahabat sejiwa meski tak senyawa. 

Bersahabat dengan Widya perlu punya nyali. Cara bicaranya ceplas ceplos. Bagi orang yang tak paham dirinya mungkin akan menilainya arogan. Berbeda denganku. Justru dengan ceplas ceplosnya Widya membuatku semakin nyaman. Itulah anehnya diriku, walaupun kadang pernah tersinggung dan sebel dengan perkataannya. Dengan melewati hari- hari bersamanya aku semakin terbiasa dengan karakternya. Aku tak pernah mengingatkannya, takut kalau dia tersinggung kemudian kena semprot, hahahaha. Dibalik semua itu Widya adalah seorang yang teramat baik. Dia selalu paham apa yang aku butuhkan. Setiap keluh  kesahku selalu direspon dengan luar biasa. Bukan hanya direspon dengan perkataan tetapi juga melalui perbuatan. Dia selalu menyediakan dirinya sebagai teman curhat yang nyaman. Begitu juga sebaliknya ketika Widya berkeluh kesah, akupun ada kewajiban untuk merespon yang sama dengan saat dia meresponku. Kekurangan Widya adalah kelebihanku, kelebihan Widya adalah kekuranganku. Kami berdua berusaha mengisi kekurangan masing- masing dengan berbagai cara, supaya persahabatanku dengan Widya awet dan langgeng. 

Kebiasaan Widya setiap selesai mengajar, dia selalu menyambangi kelasku. Ketika wajahnya menyembul di balik pintu kelasku dengan wajah yang kuyu dia akan selalu berkata " Mbak yuu kamu tidak lapar kah ?" Nah kalau sudah seperti itu aku akan meninggalkan seluruh aktivitas di madrasah pada jam ini, untuk menemani Widya makan siang di cafe dekat madrasah. Di waktu makan siang inilah kesempatan kita untuk cerita pengalaman di hari itu baik di rumah, di kelas maupun di madrasah. Tentang teman di madrasah, tentang suami dan anak di rumah, tentang tingkah dan masalah anak didik di madrasah, semua tumpah ruah di waktu ini. Setelah kami cerita, selanjutnya pasti diantara kita akan memberikan solusi jika cerita tadi dianggap sebagai masalah. 

Pernah suatu waktu kita berdua sama - sama merasakan penat yang luar biasa berkenaan dengan pekerjaan. Waktu itu madrasah sedang mengadakan kegiatan Penilaian Akhir Semester. Ketika jam kerja telah berakhir, Widya mengajakku jalan-jalan ke Mall dekat madrasah. Kunjungan kita ke mall bukan untuk belanja, tetapi hanya untuk membeli Roti Boy sama teh panas. Setelah kami selesai makan Roti Boy berdua, kami lanjutkan untuk berjalan-jalan mengelilingi mall dari ujung ke ujung. Kami pulang dengan tangan kosong, karena memang tujuan kita bukan belanja tetapi hanya cuci mata dan cuci otak supaya lebih segar dan siap untuk menyambut pekerjaan esok hari.

Pernah juga ketika sudah selesai jam kerja, kami berdua membeli bakso dengan lokasi yang agak jauh dari madrasah. Tepat di depan kedai bakso itu ada rumah pejabat yang sangat luas dan megah. Kebetulan di luar pagarnya ada pohon dan di bawah pohon terdapat gundukan tanah dengan hamparan rumput hijau di atasnya. Cuaca sangat panas sekali, apalagi kita habis makan bakso. Kuajak Widya untuk duduk-duduk dulu di situ. Bahkan Widya kuajak untuk tiduran di situ. Wakakakak.. bagaimana menurut pendapatmu? Gila bukan? Asalnya Widya tak mau,  pada akhirnya Widya mau menuruti ajakanku meski sambil berkata " Gila awakmu, Yuuk". Sore itu kita nikmati hari dengan bersantai hanya berdua dengan Widya. 

Kami berdua memang bisa dibilang "tidak waras", tetapi dalam setiap kegiatan yang diadakan oleh madrasah, peran kami sangat dibutuhkan. Mengapa demikian? Karena kami ini bisa dikatakan golongan orang-orang multi talent. Setiap acara atau kegiatan di madrasah selalu beres di tangan kami. Kami berdua suka kerja keras sampai apa yang kita upayakan mendapat hasil yang memuaskan. Kami pernah dicibir oleh beberapa teman yang menyangsikan kerja kita. Alhamdulillah kami terbukti kuat menghadapinya. Niat kami tidak lain hanyalah untuk membesarkan madrasah supaya dikenal orang. Sejarah telah membuktikan bahwa peran kami berdua di madrasah telah membawa madrasah menjadi banyak peminatnya,  meski itu bisa dikatakan bukan peran kami seratus persen. Aku dan Widya selalu bahu membahu terhadap tugas madrasah. Jika aku menjadi Ketua Panitia kegiatan, Widya berusaha membantuku dengan semaksimal mungkin. Begitu pula sebaliknya. Tak ada cerita yang tak indah bersama Widya. Kami bukan pimpinan, kami hanya orang-orang yang hanya ingin membuat cerita kebaikan dan kemanfaatan supaya bisa dikenang.

Saat persahabatanku memasuki usia 13 Tahun, cobaan datang menjelang. Aku merasa tak sepaham dengan konsep program madrasah. Saat itu aku merasakan kerja di madrasah ini sudah tidak nyaman lagi. Widya pun merasakan demikian. Setiap hari curhatan kita berkisar tentang hal ini. Akhirnya aku memberanikan diri untuk mengambil keputusan resign dari madrasah ini. Meski yang dirasakan Widya sama denganku, tetapi aku tak ingin mengajak Widya untuk melakukan hal yang sama. Aku tahu diri bahwa aku tak mungkin bisa menjamin kehidupan Widya secara finansial. Hubunganku dengan Widya sempat memanas, karena Widya berusaha untuk menahanku supaya tidak resign. Bahkan sempat kugebrak mejanya sampai matanya melotot  karena kaget. Aku berencana membuat Widya supaya benci dan semakin benci kepadaku. Sehingga untuk meninggalkannya aku tak merasa berat hati. Semakin kubuat Widya benci kepadaku, semakin tersiksa batinku. Aku berusaha memberikan penjelasan kepadanya bahwa dia harus paham apa yang aku rasakan, aku merasakan ketidaknyamanan yang tak dirasakan Widya. Meninggalkannnya begitu saja sungguh aku merasa tidak tega. Aku berprasangka baik saja,  siapa tahu dengan peristiwa ini dapat membuat kami semakin dewasa menghadapi kenyataan.

Aku mutasi ke madrasah lain, meski masih berada di kota yang sama, kenyataan telah berbicara bahwa aku tak lagi ada di tempat kerja yang sama denga Widya. Pertama, kurasakan berat sekali untuk menerima kenyataan ini.Satu bulan, dua bulan, merupakan masa adaptasi yang menghabiskan pikiran.Berat banget, meski aku masih bertukar kabar dengan Widya melalui Whatsapp. Kesempatan kita untuk ngobrol berdua, makan berdua, ngemall berdua, gila berdua seakan sirna pada waktunya. Aku tahu bahwa tak ada yang abadi di dunia ini. Hal ini terasa menyakitkan bagiku. Apalagi aku harus beradaptasi dengan lingkungan kerja yang baru, tanpa teman dan sahabat seperti Widya. Ternyata baru kusadari arti seorang Widya dalam kehidupanku. Aku sangat menyesal dengan keputusanku untuk meninggalkannya, akan tetapi aku tetap harus mau menanggung resikonya. Biarlah cerita aku dan Widya menjadi cerita masa lalu yang tetap akan  kukenang, bahkan kuabadikan  dalam memori kehidupanku yang tak akan hilang ditelan waktu. Aku yakin dari peristiwa ini ada hikmah yang dapat kami ambil. Mungkin Allah ingin menjadikan kami manusia yang lebih baik dari kemarin. Dengan terpisahnya tempat pengabdian, Waktu akan mengabarkan pada dunia dan seisinya bahwa aku dan Widya sudah dewasa. Sudah dapat menerima takdir meski itu berat rasanya.

Kata Dilan " Rindu itu berat ". Yaah saat rinduku pada Widya tak tertahankan, tiba-tiba mataku mengandung bawang, bahkan bisa jadi hujan air mata begitu saja. Kalau sudah begitu, ternyata Widya merasakan sama-sama menahan rindu. Akhirnya kami selalu punya cara untuk mengobati rindu itu. Kami akan menulis janji dimana kami akan bertemu, di cafe atau di mall, bahkan di gedung bioskop untuk menonton film dengan genre kesukaan kita berdua. Disitulah kita saling bercerita tentang pengalaman kita selama kita jarang bertemu. Kira-kira kalau cerita itu dihabiskan bakal makan waktu berhari-hari itupun tak akan pernah kelar. Persahabatanku dengan Widya adalah persahabatan yang ringan dan asyik. Persahabatan yang tak menguras banyak energi, meski kami kadang perang urat leher. Dengan Widya aku selalu berkolaborasi menemukan sesuatu yang baru. Baik dalam hal pembelajaran maupun tentang kehidupan. Dalam ketaqwaan kami selalu saling mengingatkan. Dalam kebaikan kami selalu saling menasehati, asalkan dengan cara yang tepat, tak saling menyinggung perasaan. Kata Widya aku adalah orang yang kuat. Aura kekuatanku telah kutularkan pada Widya, untuk menjadi orang yang tak mudah menyerah. Kami saling berbagi energi positif, meski kadang kami kelihatan seperti orang "edan". Edan yang cerdas, edan yang bermanfaat untuk orang-orang di sekitar, sehingga edan kami bisa dikatakan edan dalam tanda petik. 

Ada cerita yang sungguh membuatku merinding saat mengingatnya kembali. Pada waktu musim covid di era pandemi 2020, Widya sempat terpapar. Waktu mendengar berita itu, tak terbayangkan betapa sedih hati ini. Secara waktu itu banyak kulihat, kudengar banyak orang yang meninggal karena virus nakal ini. Sungguh kuakui, aku takut kehilangan Widya. Tak ada yang bisa kulakukan, selain mendekat pada yang punya kuasa kehidupan. Aku mohon pada Robbku jangan Kau ambil Widya, Yaa Allah. Berhari-hari pikiranku berkecamuk tak karuan. Makan tak enak, tidurpun aku tak bisa nyenyak. Menengok pun tak diwajibkan, karena pada saat itu Widya sedang menjalani isolasi di rumahnya. Kondisi Widya selalu kupantau dari adik dan suaminya. Sempat kudengar bahwa Widya tak mau makan. Duh, apa yang akan terjadi kalau sampai Widya tak mau makan. Ku chat dia dari jauh makanan apa yang diinginkan saat ini ?. Dia hanya ingin roti untuk mengisi perutnya, karena melihat dan merasakan makanan apapun katanya sudah hilang selera. Akhirnya kukirmkan roti kesukaannya via grab yang baik hati dan bersedia mengantarkan pada alamat Widya. Alhamdulillah perkembangan Widya semakin hari semakin membaik. Kelegaan serasa mengisi ruang dadaku. Terima kasih Allahku, Engkau telah mengabulkan doaku. Aku masih ingin bersama Widya dalam merenda hari-hari ke depan, meski aku dan Widya tak ada dalam satu tempat kerja, yang penting aku masih bisa melihat senyumnya yang khas, adalah sebuah kebahagiaan yang tak terkira.

Saat ini ceritaku bersama Widya telah memasuki Tahun ke 17. Suka, duka, derita telah kurangkai bersama Widya. Pada akhirnya harus kuakui tiada sahabat sebaik Widya. Sesibuk apapun Widya, dia selalu menyediakan diri untukku jika aku membutuhkan pertolongannya. Ceritaku dan Widya semoga terus bisa berlanjut. Kami tak pernah tahu bahkan tak akan tahu apa yang akan terjadi di depan. Namun sebagai manusia yang tiada daya hanyalah bisa memohon cucuran rahmat atas kami berdua dan keluarga. Semoga persahabatan ini dapat saling memberikan kesaksian ketika kami berjumpa dengan Tuhan kami di hari perhitungan. Jatuh bangunnya persahabatan ini, adalah salah satu ikhtiar untuk menegakkan tali silaturrahim yang kokoh antara aku dan Widya. Tiada harapan ke depannya, selain mengharap Ridlo atas segalanya.Perjalananku bersama Widya akan kulanjutkan sampai titik darah penghabisan.

Hadiah terbesar dalam hidup ini adalah persahabatan, dan aku telah mendapatkannya. Sahabat sejati bukanlah yang sering mentraktir dan minjemin duit, tapi sahabat yang selalu ada saat kamu gagal.

“ Bunga mawar adalah tamanku, dan seorang sahabat bisa menjadi duniaku “

 

 

 

 

 


 


 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hariku Bersama Angelina Sondakh

Bocah Istimewaku

AYAHKU GURU QUR'ANKU