Puisi Prosais 1
TRAUMA MERONA
Created by Chaula A. Rozaq
Sepasang manik hitam menyala layu.Tak tahu kemana nasib ini kan beradu.Berhadapan dengan tirani yang datang tak kenal pandu.Gerah rasakan kicauan mulut manis penuh bisa menusuk sembilu.Aku sadar kau adalah ciptaan Tuhanku.
Tapi kenapa jiwa ini selalu meronta karenamu.Wahai anak pandita tak tahu malu. Pendusta berkedok arif prilakumu. Seakan syurga pasti kau jamah selalu.Pelindung kehormatan menutup bawah dada tak perlu ragu. Tapi kenapa kau lakukan itu. Padahal hitam dan putih sudah kau tahu.
Apakah ingatanmu mulai terkoyak sehingga mulai belagu? Ataukah Demershia akut telah menyerang otakmu?Jawablah Mulut bau!.
Nyanyianmu merdu sampai memekakkan telingaku. Rasanya aku tak percaya ternyata dirimu hanya penyanyi palsu.
Genderang perang kutabuh menyala bertalu -talu. Aku sudah mulai muak dengan bahasa kalbumu. Bahasamu semanis madu.Terasa pahit di langit lidahku. Mataku nanar menatapmu. Tapi kau berusaha memalingkan cahyamu.
Malam itu..
Jantungku terhunus oleh pisau belatimu. Menyakitkan dan membuat nafasku semakin menderu. Ingin kutarik rikmamu. Tapi aku tak punya kuasa atas perlindunganmu. Dua dewa berjubah biru yang siap menyelamatkanmu. Karena mereka punya kepentingan atas dirimu.
Aku berusaha atur nafasku landai, rendah mendayu -dayu. Agar kau tak tahu betapa tercabiknya auraku. Tak mengapa, dari pada KAU yang berkubang malu. Kau nista dirimu dengan koin receh yang memenggal urat sarafmu. Akhirnya kau buat dramatic setingan dari mustakamu. Aku hanya bisa tertawa dan menangis tergugu melihat gerakan jari-jarimu. Semua mengarah pada dirimu.
Kulangkahkan lunglai kakiku. Menuju sangkar buatanmu. Kutemui seonggok wajah sendu. Di balik pintu dia menyambutku. Mencium bau penat badanku seraya membisikkan puja raya merayu. Dia berusaha memelukku. Menjanjikan bahwa esok hari matahari akan nampak garang di sela-sela pohon jambu.
Wajah sendu itu darahnya menggeliat memberontak pada pusaran waktu. Ingin mengepung bentengmu. Kutahan dia agar tak mengikuti arah nafsu. Pada akhirnya bisa membuat dia jatuh dan terbelenggu. Kusapu dadanya dengan bibirku menahan kelu.Aku tak mau kehilangan perisaiku.
Kugandeng tangannya menuju kucuran deras air syahdu. Bersama kami merajah dinding amarah yang menggebu. Kami hamparkan rentetan kalimat penuh mengadu. Pada Sang Hyang yang menciptakan nyawanya dan nyawaku.
Malang, 26 Mei 2023
Komentar
Posting Komentar