Rikhlah Hasanah Bil Hikmah Jilid 1
πΏRihlah Hasanah Bil Hikmah Jilid 1....πππ
"Mbakyuu.. Entar Bulan Desember waktu kita liburan akhir semester, ada acara Temu Penulis Nasional Kelas Belajar Menulis PGRI loh", celoteh Widya. " Oh yaa? " Jawabku. "Dimana? " tanyaku. "Di Jakarta" Jawab Widya.
Pada tahun 2021 aku memang mengikuti Kelas Belajar Menulis Gelombang 24, dengan Founder Dr. Wijaya Kusuma, M. Pd. Kuikuti kelas menulis setiap hari Senin, Rabu dan Jumat selama 3 bulan, dengan 36 kali pertemuan. Setiap selesai pertemuan selalu mendapat tugas untuk membuat resume. Resume harus diselesaikan oleh seorang peserta minimal 20 resume dari 36 kali pertemuan. Mudah bukan? Kegemaran dan
Kemauan untuk menulis memang sudah tumbuh pada diriku sejak aku duduk di bangku kuliah. Hanya setelah menikah dan beranak pinak.. Hehehe.. Kemauan itu perlahan surut. Dengan adanya Kelas Belajar Menulis ini aku bangkitkan kembali hobiku seperti pijar lampu yang menyala terang,alias syemangaat..πͺπͺ
Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama. Apakah nama kita hanya akan tertinggal di surat undangan, buku yasin, atau batu nisan saja? Pertanyaan itu yang mulai merasuki hatiku. Aku ingin menuliskan nama pada karya-karya yang bermanfaat, salah satunya tertulis dalam buku-buku karyaku.
Tujuh karya antologi sudah kutulis bersama para Guru Indonesia Penggiat Literasi Nusantara. Lima karya sudah diterbitkan dalam bentuk Buku Antologi, tinggal menunggu dua lagi masih dalam proses editing. Untuk mendapat predikat lulus pada Kelas Belajar Menulis, peserta harus membuat karya minimal satu Buku Solo. Buku Soloku dengan judul " Di Empat Mata Angin Pengabdianku" masih dalam proses penyelesaian yang belum kelar juga. Masih menyesuaikan dengan waktu dan kemauanku. Kemauan menulis dan menyelesaikannya.
Nah, aku sudah bercerita tentang Kelas Belajar Menulis. Selanjutnya aku akan cerita tentang ajakan Widya di awal kalimat tulisanku.
Ajakan Widya sahabatku seakan gayung bersambut dengan keinginanku. Aku melangkah dengan rencana yang sudah tertulis di benakku. Pertama kali yang harus kulakukan adalah meminta izin dan restu pendamping hidupku Ab Slamet Hady Prayitno. Sekuat apapun rencana dan keinginan kita, tanpa izin dan restu suami, tidak akan mendatangkan kedamaian dan keberkahan.
Khamdan wa syukron alaika Yaa Allah.. Ternyata suami mengizinkan dan merestui. Aku cerita pada Widya. Segera Widya cari tiket pulang pergi karena harga tiket ke Jakarta melambung tinggi menjelang Nataru. Aku segera mendaftarkan diri sebagai peserta dan berkonstribusi. Tahapan demi tahapan sudah kutempuh. Tinggal mendapatkan Ridlo dari Allah, Sang pembuat skenario kehidupan yang kuharapkan.
Menjelang tiga hari keberangkatanku ke Jakarta, tiba-tiba suami jatuh sakit. Dalam hati aku berusaha untuk menekan egoku untuk berangkat ke Jakarta. Aku tak tega membiarkan suami dan anak-anak di rumah dalam kondisi demikian. Inilah beda tingkat kenyamanan emak dan bapak ketika harus pergi jauh meninggalkan rumah. Seorang emak akan banyak yang dipikirkan dan dipersiapkan sebelum meninggalkan rumah. Mulai kebutuhan Dalam Negeri sampai Luar Negeri.....Hahaha... Belanja kebutuhan dapur selama 4 hari dan tetek bengek yang lainnya selama ditinggalkan. Bukan hanya itu saja, termasuk pesan-pesan yang harus dilakukan oleh seluruh anggota keluarga selama emak tak ada di rumah.
Dua hari menjelang keberangkatan, Alhamdulillah kondisi suami berangsur membaik. Beliau memaksa aku untuk tetap berangkat ke Jakarta. Ya sudahlah, aku turuti permintaannya dengan seribu pesan terucap, salah satunya " Jangan lupa minum obat pagi dan malam." Obat pagi yang ini, obat malam yang ini, terasa penyakit bawelku mulai kambuh. Dasar emak-emak.
Minggu pagi, tanggal 25 Desember 2022, aku diantar suami dan putriku, menuju Stasiun Kereta Api Kotabaru Malang.
Disana aku bertemu sahabat dan teman sejawat. Diantaranya Widya Althafian dan Purbaniasita Chita Wijono, sebagai teman yang akan membersamaiku mengisi liburan dengan hal yang bermanfaat. Kebetulan suami Dek Sita yang memesankan kami tiket kereta api, karena beliau adalah salah satu Pegawai KAI Stasiun Kotabaru.
Naah apa yang terjadi pada saat menjelang pemberangkatan? Setelah aku pamit pada suami dan putriku, aku menuju ke Resepsionis Stasiun Kota dengan membawa Kartu Identitas yaitu Kartu Tanda Penduduk. Dua sahabatku lolos, ternyata terekam dari data kependudukanku bahwa aku belum mengikuti Boster Covid 19. Petugas Resepsionis berkata, bahwa aku tak boleh berangkat jika belum mendapatkan suntikan boster. Padahal jam pemberangkatan kereta tinggal tiga puluh menit lagi. Mata Widya nanar menatapku. Ingin ketawa jika aku mengingatnya. Widya mengira kalau aku sudah boster. Akupun cukup percaya diri bahwa dengan Vaksin 1 dan 2 aku sudah boleh berangkat ke Jakarta. Ternyata eh ternyata aturan di KAI sungguh ketat banget. Pada waktu itu aku sudah pesimis dan cukup rela bila aku tak jadi berangkat. Pikirku.. Ya sudahlah berarti Allah tak meridhoi aku untuk berangkat. Seperti yang kuungkapkan di tulisanku ini, bahwa tahapan terakhir tinggal menunggu Ridlo Allah sebagai pembuat skenario kehidupan. Aku sudah ikhlas untuk tidak berangkat. Aku tidak akan memaksa untuk berangkat. Mungkin ada maksud Allah di balik semua ini.
" Ibu bersedia jika divaksin boster di Klinik Stasiun saat ini? " Tanya petugas. Widya dan Dek Sita memberikan isyarat supaya aku mau divaksin. Aku menoleh ke suamiku yang ada jauh dari pandangan seraya aku tangkap isyarat matanya pasti ada yang tidak beres denganku. Akhirnya dengan ragu kujawab " Ya Pak bersedia". Aku tak bisa membayangkan bagaimana mimik wajahku saat itu. Mungkin antara kecewa, takut, bingung, berserah jadi satu.
Beruntung ada suami Dek Sita, Pegawai KAI yang lekas mengajakku naik ke lantai 2 untuk mendapatkan Vaksin Boster di Klinik Stasiun.
" Lekas divaksin ya pak.. Ini keretanya 15 menit lagi akan berangkat." Instruksi suami Dek Sita. Hemmm aku tak bisa membayangkan bagaimana nanti reaksi tubuhku sehabis aku divaksin, padahal aku sedang melakukan perjalanan jauh? Tanya hatiku. Bismillah dengan menyebut Asma Allah aku yakin akan diberikan kesehatan, kekuatan dalam perjalanan nantinya. Jarum suntik menghunjam dalam lapisan daging kulitku, berasa mak trenyeeng..Hahaha.. ( Aya aya wae critane). Aku keluar dari Klinik Stasiun dengan perasaan tak takut sama sekali jika ditinggal kereta. Ternyata kereta masih menungguku. Aku langsung menuju gerbong 5 kereta jurusan Malang Jakarta. Barang bawaanku berupa koper dan lain-lain sudah dibawa oleh sahabatku ke atas gerbong. Alhamdulillah selama perjalanan tak ada keluhan yang berarti atas reaksi vaksin. Hanya berasa kemeng dan linu pada punggung tanganku.
Pelajaran yang bisa kuambil hikmah dalam ceritaku ini adalah Rencana apapun dalam hidup ini tak boleh lupa untuk selalu bergantung pada Sang Pembuat Skenario Kehidupan. Kita hanya mengharap RidloNya. Bahkan menjelang beberapa menit perjalanan,setelah kita mempersiapkan segalanya dengan matang, Allah masih menguji ketergantungan kita padaNya. Tetapi di balik kepasrahan yang betul-betul rela menerima keputusanNya, Allah bentangkan kasih sayangnya memberikan izin dan RidloNya atas segala yang kita rencanakan.
βοΈ Naik kereta api thut.. thut... Siapa hendak turut....
Nantikan Rihlah Hasanah Jilid 2....Sampai Jumpaaa.....πππͺπͺ
Komentar
Posting Komentar